Pengalaman yang sangat mengagumkan saya dapatkan
ketika saya berada di Islamic Boarding School (IBS). Disana saya belajar
memaknai hidup sekecil apapun kenikmatan yang diberikan dari Yang Maha Kuasa.
Membuat paradigma berfikir saya berubah menjadi 180’. Saya mandiri, saya
mengatur keuangan sendiri, saya harus bertenggang rasa dengan teman sekamar,
dan saya juga harus mengikuti kegiatan yang telah terjadwal dari IBS. Perilaku
saya-pun berubah seiring dengan bertambahnya ilmu yang saya dapatkan. 3 tahun
yang awalnya saya sangat menolak sekaligus bersitegang dengan orang tua untuk
tetap bertahan di dalamnya. Sempat terlontar kata “kenapa sih, harus masuk IBS?
aku nggak suka tinggal bareng satu kamar dengan banyak orang yang beda pikiran
+ tingkah laku!! kenapa nggak ayah atau ibu aja yang tingal disini? emang ibu
fikir enak gitu? gampang gitu harus bareng-bareng satu kamar sama orang yang nggak
dikenal?”.
Ketika mengingat kata itu-saat ini-hanya
senyum dengan mimik bersalah sekaligus sedih, dengan segal hal yang telah aku
dapat. Dan aku-saat ini menjadai pribadi yang unggul dalam memahami kultur
kampus. Tanpa harus berjibaku dengan rasa enggan untuk aktif dalam kegiatan
sosial. Saya telah merasakan bagaimana masa tersulit-sendiri-pada saat usiaku
beranjak remaja. Uang jajan yang hilang, teman sekamar yang sakit dan harus
menolongnya dengan cara membantu kebutuhan-kebutuhan yang diperlukannya
(merawat), kurang tidur karna harus jadi Ka. Panitia peneriamaan santri baru,
demam tinggi yang berusaha disembunyikan dari orang tua-agar mereka tidak
khawatir-, tidak ada fasilitas Hp-yang
ada hanya one PC yang digunakan berbarengan disatu kamar serta TV yang ditempel
ditembok ujung setiap lorong asrama yang hanya menampilkan News or dialog yang
berbahasa asing (arabic and english).
Selama tiga tahun berada di boarding school
ketika masa SMA itu, jendela wawasan saya diperlebar dan kerana pengetahuan
yang terbuka dari berbagai disiplin ilmu membanjiri isi kepala saya. Saya
memaknai kutipan populer Carpe Diem yang ditulis oleh Horace – yang artinya
adalah Seize the Day – mengingatkan saya untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan
hidup yang saya dapat hari ini. Saya juga mengapresiasi fungsi moral dongeng
Pinocchio dan Cinderella serta menganalisis faktor internal novel abad 17 karya
Robinson Crusoe. Saya juga mencoba memahami filsafat politik dari pemikiran
filsuf asal Britania Raya, John Locke.
***
Bercerita tentang negara ini-INDONESIA,
rasanya sudah sering sekali terbahas dalam setiap diskusi kecil yang saya
lakukan bersama teman-teman dikampus. Dinamika pendidikan indonesia saat ini,
sangatlah cepat mengikuti perkembangan zaman dan di era global ini istilah
pendidikan karakter kembali menjadi pusat perhatian sebagai solusi alternatif
atas segala permasalah yang ada di negeri ini. Sungguh berat tanggung jawab
yang di tanggung pendidikan nasional dan menghadapi tantangan arus besar
globalisasi. Perdebatan sekarang adalah bukan terlalu membahas kenapa hal itu
semua terjadi tapi bagaiman solusinya yang bisa dilakukan untuk mencapai tujuan
pendidikan nasional terlebih lagi bagaimana peran kita sebagai mahasiswa untuk
mendukung hal itu dan menjadi bagian dalam usaha mencapai tujuan luhur
pendidikan nasional indonesia.
Parameter keberhasilan pendidikan nasional
yang diukur oleh nilai batas minimum yang mampu dilewati siswa adalah potret
kesuksesan yang semu. Buktinya semakin banyak orang yang bisa sekolah, berita
tawuran antarpelajar, demo mahasiswa yang berujung kericuhan masih santer
terdengar. Apa pasal ini bisa terjadi? Di kelas tidak ada cukup ruang untuk
melatih cara berkomunikasi yang santun melalui media diskusi tukar opini. Dua
jam mata pelajaran tidak cukup efektif untuk mempertajam radar berimajinasi dan
bereksplorasi.
Selama 12 tahun kami dijejali soal-soal yang tidak akan kami hadapi di kehidupan
nyata. Kami tidak dibekali cara berpikir kritis karena kami tidak dibiasakan
menulis. Dari ulangan harian sampai Ujian Nasional yang berbentuk pilihan ganda
tidak mendorong kami untuk mencintai riset pustaka alias merangsang kami untuk
gemar membaca. Sehingga, akhirnya tidak terbentuk pola pikir yang kreatif dan
berpikiran terbuka (open-minded) dalam menyelesaikan masalah. Pengenalan
pentingnya leadership (kepemimpinan) dan entrepreneurship (kewirausahaan).
Kita perlu berbenah. Sebagai lembaga negara
yang memegang tongkat kekuasaan, Kementrian Pendidikan Nasional harus tahu
diri. Kita tidak boleh mengabaikan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada
Februari 2012 yang menyatakan bahwa jumlah pengangguran secara nasional pada
Februari 2012 mencapai 7,6 juta orang dengan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)
Februari 2012 sebesar 6,32 persen. (sumber: http://www.pikiran-rakyat.com/node/203205
Selasa, 25 September 2012, 11.56 ). Alokasi dana APBN sebesar 20% jangan lagi
digunakan untuk proyek yang tidak berdampak langsung terhadap kualitas peserta
didik. Sistem perekrutan guru dan lulusan bergelar sarjana pendidikan wajib
ditinjau ulang. Belajar dari negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia,
Finlandia, guru – guru disana merupakan lulusan dengan nilai yang menduduki
peringkat 1 sampai 5. Dengan model evaluasi berupa esai tentu dibutuhkan
kompetensi sumber daya manusia yang lebih mumpuni agar tulisan yang dibuat
benar-benar dapat melihat sejauh mana pemahaman siswa.
Reformasi kurikulum hanya dapat diwujudkan
oleh orang nomor satu di jajaran aparatur Kementrian Pendidikan Nasional. Saya
belum tahu bagaimana caranya mencuri atensi presiden agar kelak beliau bersedia
mengamanahi saya posisi yang menjadi poros utama penyelenggaraan pendidikan
formal oleh negara. Akan tetapi, paling tidak mulai dari hari ini saya telah
menghimpun gagasan perubahan yang layak diperjuangkan sebagai MAHASISWA.
***
Mahasiswa merupakan kelas tersendiri yang
dilahirkan oleh Perguruan Tinggi. Sedangakan Perguruan tinggi adalah sebuah
institusi yang tidak sekedar untuk kuliah, mencatat pelajaran, pulang dan
tidur. Tapi harus dipahami bahwa perguruan tinggi adalah tempat untuk
penggemblengan mahasiswa dalam melakukan kontempelasi dan penggambaran
intelektual agar mempunyai idealisme dan komitmen perjuangan sekaligus tuntutan
perubahan. Penggagasan terhadap terminologi perguruan tinggi tidak akan bisa
dilepaskan dari suplemen utama, yaitu mahasiswa Sebagai kelompok yang lahir
dari perguruan tinggi, maka mahasiswa dapat digolongkan sebagai kelompok
intelektual.
Kelompok Intelektual dapat diartikan
sebagai orang yang memiliki kelebihan berpikir dibanding masyarakat pada
umumnya. Kelebihan ini bisa berupa kecerdasan ataupun lebih luas wawasannya.
Kelompok ini memiliki peran penting di
lingkungan mereka tinggal. Kelompok Intelektual dianggap mampu memberikan
solusi terhadap masalah yang sedang berkembang di masyarakat.
Menurut Anis Matta dalam bukunya
(menikmati demokrasi) kelompok intelektual patutnya memiliki budaya serta
tradisi ilmiah yang mampu mengkoordinir produktivitas dalam kerja kolektif.
Cirinya dalah sebagai berikut
- Berbicara dan berkerja berdasarkan ilmu pengetahuan
- Tidak bersikap apriori dan tidak memberikan penilaian kepada sesuatu sebelum mengetahui dengan baik dan akurat
- Selalu membandingkat pendapatnya dengan pendapat kedua & ketiga sebelum meyimpulkan dan mengambil keputusan
- Mendengar lebih banyak dari berbicara
- Gemar membaca dan menyediakan waktu baca
- Selalu mendekati permasalahan secara komperhensif,integral,objektif,dan proporsional
- Lebih banyak diam dan menikmati saat-saat perenungan
- Gemar berdiskusi dan pro-aktif dalam mengembangkan wacana,ide-ide, namun tidak suka debat kusir
- Berorientasi diskusi pada kebenaran bukan kemenangan
- Berusaha mempertahankan sikap dingin dalam bereaksi terhadap sesuatu dan tidak bersikap emosional dan meledak-ledak
- Berfikir sistematis dan berbicara secara teratur
- Menyenangi sesuatu yang baru dan menikmati tantangan serta perubahan
- Tidak pernah merasa berilmu secara permanen dan karenanya selalu ingin belajar
- Rendah hati dan bersedia menerima kesalahan
- Lapang dada dan toleran dalam perbedaan pendapat
- Memikirkan ulang gagasannya sendiri atau gagasan orang lain dan senantiasa menguji kebenaran
- Selalu melahirkan gagasan baru secara produktif
***
Saya sebagai mahasiswa UNJ harus memiliki
ke-idealisan yang tinggi. Walaupun segelintir mahasiswa apatis terhadap
tugasnya sebagai kelompok inteletual. Karenanya hal tersebut tidak dapat menjadi
tolak ukur sepenuhnya bagi ke-ikutsertaan mahasiswa dalam kelompok intelektual.
Di sisi lain, dapat dikatakan mahasiswa UNJ terbilang sebagai mahasiswa yang
aktif dalam membela kepentingan rakyatnya. Tidak jarang mereka turun ke jalan
untuk menyuarakan aspirasi, membela kepentingan, serta menuntut perubahan yang
lebih baik. Hal tersebut saya lakukan dengan keikutsertaan dalam organisasi BEM
UNJ yang ketika itu,kami bergabung dengan BEM SI (Seluruh Indonesia). Sebagai mahasiswa
UNJ, saya juga terbilang aktif dalam memenuhi peran sebagai social of change.
Hal tersebut saya realisasikan dalam kajian-kajian strategis yang menghasilkan
opini maupun gagasan-gagasan dalam bentuk tulisan yang tertuang di media massa
maupun elektronik (dalam hal ini dapat dilihat di www.berita99.com).
Jika ditanya saya akan menjadi seperti apa
agar dapat berkontibusi dalam masyarakat, rasanya saya ingin sekali melakukan
hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan-kurikulum terutama. Saya akan
merampingkan materi yang terlalu detil dan memotong jam sekolah yang memakan
waktu lama supaya percik api antusiasme yang pernah saya rasakan juga hadir di
setiap individu. Saya ingin sedari dini warisan budaya seperti batik, wayang,
upacara sakral, kesenian daerah diperkenalkan di sekolah. Setidaknya jika ada
yang mengklaim, kita tidak hanya berteriak saling menyalahkan tetapi nyatanya
kita tidak meruwat budaya Indonesia. Saya bermimpi profesi guru kembali kepada
hakikatnya sebagai pendidik, bukan sekadar pengajar yang hanya mempersiapkan
siswa untuk lulus ujian. Saya ingin nadi budaya baca-tulis dan rasa ingin tahu
selalu berdenyut di pelosok pedesaan hingga jantung perkotaan. Saya tidak mau institusi
modern mematikan potensi berpikir kritis anak-anak hanya karena tidak ada yang
memicu kebiasaan berargumentasi di ruang kelas. Harapan saya pendidikan di
tanah air tidak lagi menjadi ajang transfer ilmu yang menjadikan murid adalah
cetak biru sang guru. Peserta didik harus mampu mentransformasi ilmu
pengetahuan sehingga tujuan akhir pendidikan untuk mencetak generasi yang mampu
menjawab tantangan zaman dapat tercapai.
***
UNJ senantiasa memberikan bekal kepada
setiap mahasiswa (kependidikan) bagaimana menjadi guru yang diidam-idamkan
bangsa ini. Meski tidak menepis masih terdapat dosen yang jauh dari kata
memuasakan dalam segi metode pembelajarannya, namun UNJ juga selalu berusaha
membuat mahasiswanya mengerti arti sesungguhnya profesi guru.
“without a teacher there aren't a successful people in the world, so I'm
proud to be a teacher”
"sebagus-bagusnya ilmu adalah ilmu yg bermanfaat"
Rasanya kalimat diatas merupakan kalimat
inspiratif bagi hampir keseluruhan mahasiswa mantan IKIP. Karena pada hakikatnya
UNJ merupakan pencetak generasi pendidik. Oleh karenanya, tataran praktik pun
diberikan sebagai bekal kepada para mahasiswanya yang hendak melaksanakan PPL
melalui micro teaching terlebih dahulu. Selain itu, mahasiswa tidak hanya
mendapat keahlian praktik mengajar, tetapi juga mendapat pelajaran berharga
yaitu pengalaman sebagai hasil dari PPL. Benarlah adanya pepatah yang
mengatakan bahwa sebaik-baiknya guru adalah pengalaman. Maka UNJ pun secara
konsisten membekali para mahasiswanya dengan ilmu-ilmu berkualitas yang
nantinya diharapkan dapat bermanfaat ketika terjun di masyarakat. Itulah bentuk
kontribusi nyata dalam rangka membangun bangsa, pencetak profesi mulia. Tidak
hanya itu, mahasiswa UNJ juga dikukuhkan menjadi Civitas Akademika UNJ yang
berkarater, berkeinginan memerdekakan indonesia dalam arti sebenar-benarnya
serta menjunjung tinggi nilai nasionalisme.
UNJ telah lama menetapkan diri sebagai
kampus berwawasan kewirausahaan, sehingga para mahasiswa selama kuliah diminta
tidak hanya memperdalam ilmu sesuai jurusannya, tetapi harus mengembangangkan
diri menjadi calon wirausahawan dan mengisi berbagai lapangan pekerjaan.
"Saya optimis mahasiswa UNJ yang
sebagian besar belajar bidang pendidikan dan keguruan, nantinya dengan
pengetahuan dan pengalaman berwirausaha, akan mampu bekerja di berbagai bidang,
tanpa harus menggantungkan profesi di bidang pendidikan,"ucap Pak Bedjo.
Kesadaran sebagai generasi penerus bangsa
yang menuntut ilmu di UNJ dapat saya lakukan dengan memberi makna akan keberadaan
dan eksistensi diri saya-secara pribadi-di kampus dan di masyarakat luas. Yang
menandakan ada tugas lain dari kehidupan kita, yang dimana kita harus
memberikan yang terbaik untuk Bangsa Indonesia tercinta.
***
UNJ (kampus hijau):
Memang almamaternya tidak seterang almamater kuning
Tidak semegah gajah mada dan ganesha
Gedungnya pun tidak sebagus universitas lainnya
Tapi yakinlah, disini di UNJ ada bibit” pendidik hebat yg akan terlahir
menjadi orang” hebat yg akan mensukseskan generasi muda” yg tentunya akan menyukseskan Negara
ini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar